Zakat Produktif

Pembicaraan tentang zakat produktif kian hari makin hangat dibicarakan, baik itu di kalangan akedemisi, praktisi bahkan telah menyentuh lapisan masyarakat umum. Munculnya pembicaraan tentang zakat produktif ini, agaknya tidak terlepas dari kekecewaan masyarakat tentang zakat yang seyogyanya adalah salah satu elemen penting dalam mengentaskan kemiskinan yang juga tidak kunjung terlihat membuahkan hasil dalam mengurangi angka kimiskinan di Indonesia. Karena sistem pendistribusian zakat yang ada selama ini hanya digunakan untuk hal-hal konsumtif saja.

Sebenarnya zakat produktif ini bukan lagi barang baru. Penyaluran zakat secara produktif ini pernah terjadi dan dilakukan di zaman Rasulullah SAW. Hal ini dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, “bahwa Rasulullah telah memberikan zakat kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi”.
Zakat produktif juga bukan jenis zakat baru. Zakat pruduktif ini lebih kepada tata cara pengelolaan zakat, dari yang sebelumya hanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif dan pemenuhan kebutuhan sesaat saja, lalu diubah penyaluran dana zakat yang telah dihimpun itu kapada hal-hal yang bersifat produktif dalam rangka pemberdayaan umat. Dengan kata lain dana zakat tidak lagi diberikan kepada mustahik lalu habis dikonsumsi. Akan tetapi dana zakat itu diberikan kepada mustahik untuk mengembangkan sebuah usaha produktif dimana pelaksanaanya tetap dibina dan dibimbing oleh pihak yang berwenang seperti BAZ dan LAZ.

Jika kita tetap bertahan pada sistem pendistribuisan zakat yang bersifat konsumtif maka kenginan dan cita-cita untuk cepat mengurangi dan menghapus kemiskinan di ranah Indonesia ini hanya akan jadi mimpi belaka. Karena mustahik yang menerima zakat pada tahun ini akan kembali menerima zakat pada tahun tahun berikutnya. Dengan kata lain, mustahik saat ini akan melahirkan mustahik-mustahik baru dari keturunanya. Hal ini tentu tidak akan bisa menggambarkan bahwa zakat itu adalah salah satu media untuk mencapai pemerataan kesejahtaraan masyarakat.

Nah, jika kita mau sedikit merubah tata cara pendistribusian zakat kepada yang bersifat produktif, maka diharapkan zakat sebagai salah satu instrumen penting kebijakan fiskal Islam akan dapat mengurangi atau bahkan mengahapuskan kemiskinan di Republik ini. Kita berharap dengan adanya zakat produktif ini akan bisa memunculkan muzakki-muzakki baru. Dengan bahsa lain, mereka yang tahun ini adalah penerima zakat mungkin dengan adanya zakat produktif akan bisa membayar zakat satu, dua atau tiga tahun ke depan. Tidak hanya itu, dengan adanya kebijakan zakat prduktif ini juga akan bisa mengenjot laju pertumbuhan ekonomi umat.

Bukankah salah satu tujuan disyaria’tkannya zakat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umat khususnya kaum du’afa, baik dari segi moril maupun materil. Penyaluran zakat secara produktif adalah salah satu cara cerdas untuk meujudkan itu semua. Tentu saja, agar hal itu bisa direalisasikan dengan baik dan tepat sasaran, maka kerja keras dan profesionalisme pihak-pihak atau institusi-institusi pengumpul dan menyalur dana zakat. Mulai dari pemilihan program pemberdayaan yang tepat, disertai dengan proses pendampingan dan pembinaan para mustahik secara berkesinambungan dan termenajemen dengan baik harus dilakukan. Ini akan menjadi kata kunci kesuksesan pendayagunaan zakat.

Penerapan pola penyaluran zakat produktif ini bukan berarti tanpa hambatan dan kendala. Pada praktikya di lapangan banyak ditemukan kandala dan permasalahan menyertai program ini. Mulai dari kendala pengumpulan dana zakat dari para muzakki, pengelolaan, hingga pendistribusian serta pembinaannya kerap kali menuai masalah. Sehingga program ini belum begitu banyak terlihat berperan dalam pemberdayaan ekonomi umat.

Minimnya dana zakat yang terkumpul oleh lembaga-lembaga amil zakat adalah satu kendala utama tidak berjalannya program ini dengan baik. Disenyalir hal itu disebabkan karena kurangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengelola zakat yang dipandang kurang anamah, sehingga mereka lebih memilih mendistribusikan zakat langsung kepada mustahik, dan oleh mustahik dana zakat yang mereka terima itu habis dikonsumsi. Akibatnya tahun ini mereka menerima zakat, tahun depan juga tetap menirima zakat. Tidak ada perubahan dan hanya akan menampah panjang daftar penduduk miskin Indonesia.

Kendala seperi ini sebenarnya bisa diatasi dengan adanya transparansi pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga pengumpul dan pengelola dana zakat. Hal ini bisa direalisasikan dengan melibatkan akuntan profesional, lalu mempuplikasikan hasil penghitungan dan penyaluran zakat itu di media masa, seperti koran-koran nasional atau media televisi. Diharapkan dengan adanya upaya seperti itu akan kembali meningkatkan kepercayaan masyarakat, hingga dana zakat bisa dihimpun secara maksimal.

Belum memadainya sumber daya manusia yang dimiliki oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat untuk menjalankan program ini. Apakah itu pada bagian pengelolaan atau pada tahap pembinaan. Karena mustahil rasanya program ini akan berjalan dengan baik sesuai harapan jika tidak dilakukan pembinaan yang berkesinambungan terhadap para mustahik penerima zakat. Pemberian zakat produktif ini tidak akan berhasil jika bantuan modal kerja diberikan tanpa diiringi proses perubahan mindset mustahik penerima zakat. Selama ini mustahik beranggapan bahwa dana zakat hanya untuk dikonsumsi, dengan adanya pembinaan maka akan terjadi perubahan mindset mustahik dan juga bisa menumbulkan jiwa enterpreniur dalam diri mereka. Pendistribusian zakat secara produktif, mulai dari proses pemilihan mustahik yang tepat, meberikan pelatihan dan bimbingan tentunya akan menghasilkan SDM yang tidak hanya berbeda dari pola fikir tetapi juga kuat dan mandiri secara ekonomi.

Minimnya dukungan politik dari pemerintah dalam betuk undang-undang juga dipandang sebagai salah satu kendala dalam penerapan zakat produktif ini. Selama ini pemerintah terkesan setenga hati dalam menyikapai permasalahn zakat ini. Padahal tanpa dukungan dari pemerintah tersebut, zakat tidak akan pernah menjadi gejala objektif masyarakat yang bersifat nasional. Sehingga kebanyakan lembaga-lembaga pengumpul zakat seperti PKPU, dompet duafa, rumah zakat indonesia dan LAZ yang lainnya bergerak sendiri-sendiri dalam menarik para muzakki untuk mau menyalurkan zakat mereka melalui lembaga amil zakat untuk bisa didistribusikan secara produktif.

Jadi, mari kita dukung bersama tata cara pengelolaan zakat secara produktif ini. Agar zakat sebagai salah satu kebijakan fiskal dalam mengentakan kemiskinan dan sarana pemerataan tingkat kesejahteraan umat benar-benar dapat kita rasakan bersama. Dengan terwujutnya itu semua maka Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin akan terbukti dengan sendirinya. Amin.



*Oleh: Heru Perdana P

UANG DALAM PANDANGAN ISLAM

Uang? Siapa yang tidak kenal dengan benda yang satu ini. Uang sangat dibutuhkan oleh semua orang. Orang bisa melakukan apapun demi uang. Cara yang dilarang bisa dihalalkan oleh oknum-oknum tertentu untuk mendapatkannya.

Kalau kita berbicara mengenai uang. Pasti pertanyaan awalnya adalah bagaimana sejarah atau latar belakang uang itu bisa ada atau bisa muncul. Oleh karena itu, sebelum kita mengetahui bagaimana pandangan Islam tentang uang. Ada baiknya kita tahu bagaimana sejarah uang ini mulai dikenal oleh manusia.

Kalau kita berpedoman ke sejarah kehidupan masyarakat zaman dahulu. Dimana, pada peradaban awal, manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Mereka memperoleh makanan dari berburu atau memakan berbagai macam buah-buahan. Karena jenis kebutuhan waktu itu masih sederhana atau masih minim, jadi manusia waktu itu belum membutuhkan bantuan dari orang lain. Masing-masing individu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Diperiode ini manusia belum mengenal transaksi perdagangan atau kegiatan jual beli.

Ketika peradaban manusia semakin bertambah banyak dan peradaban mulai mengalami sedikit kemajuan, kegiatan dan transaksi antar sesama manusia mulai ada. Seiring dengan semakin beragamnya jenis dan jumlah kebutuhan hidup manusia. Masing-masing individu mulai tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.

Individu mulai tidak ada yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Karena itu mereka saling membutuhkan bantuan satu sama lain. Mulai saat itu, manusia mulai menggunakan alat untuk melangsungkan pertukaran barang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada tahapan yang masih sangat sederhana ini, manusia melakukan pertukaran kebutuhan dengan cara pertukaran barter atau menukarkan barang dengan barang. Periode ini lebih dikenal dengan zaman barter.

Pertukaran barter ini mensyaratkan adanya keinginan yang sama pada waktu yang bersamaan. Ini menjadi titik kelemahan dalam system barter ini. Karena akan sangat sulit menemukan dua orang yang mempunyai keinginan yang sama dalam waktu yang bersamaan. Contoh, Si A membutuhkan beras, sedang dia memiliki garam. Maka dia harus mencari orang yang memiliki beras dan sedang membutuhkan garam. Inilah yang jadi kelemahan dari dsystem barter ini. Seperti contoh di atas, Si A akan susah mencari orang yang memiliki beras dan sedang membutuhkan garam. Dan juga system barter ini, harus mensyaratkan kesukarelaan. Karena barang yang dipertukarkan sering tidak seimbang harganya. Contoh, Tuan Ahmad menukarkan seekor Unta dengan sekarung kunyit milik Tuan Hamzah. Ini jelas tidak seimbang.

Keadaan seperti itu, akan mempersulit muamalah diantara sesama manusia. Karena itu, diperlukan satu alat tukar yang dapat diterima oleh semua pihak. Alat tukar ini kemudian kita kenal dengan nama yaitu uang. Uang pertama kali dikenal pada zaman Babylonia dan Sumeria. Uang kemudian berkembang dan berevolusi sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam Islam, uang merupakan sesuatu yang diadopsi dari peradaban Romawi dan Persia. Ada dua mata uang yang dikenal dalam Islam. Yaitu Dinar dan Dirham. Dinar adalah mata uang emas yang diambil dari Romawi sedangkan Dirham adalah mata uang perak yang diadopsi dari peradaban Persia. Dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW, dua logam mulia ini, yaitu emas dan perak, telah disebutkan baik dalam fungsinya sebagai mata uang atau sebagai harta dan lambang kekayaan yang disimpan. Firman Allah SWT dalam surat at-Taubah ayat 34, menyebutkan:

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
Disamping disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, Dinar dan Dirham juga disebutkan dalam banyak hadist Nabi Muhammad SAW. Kadang-kadang hadist menggunakan kata wariq untuk menyebutkan uang logam. Sabda Rasul SAW:

Artinya : “Dinar dengan dinar, tidak ada kelebihan diantara keduanya (jika dipertukarkan), dirham dengan dirham dan tidak ada kelebihan diantara keduanya” (HR. Muslim)

Ayat al-Qur’an dan hadist di atas yang menyebutkan adanya uang Dinar dan Dirham, menunjukkan bahwa ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. mengakui berbagai muamalah yang menggunakan Dinar Romawi dan Dirham Persia. Rasulullah juga mengakui standar timbangan yang berlaku di kalangan kaum Quraisy untuk menimbang berat Dinar dan Dirham.

Selama beberapa periode dalam sejarah Islam, dimulai dari zaman Rasulullah, zaman khalifah Rasyidin, sampai ke zaman Bani Umayyah. Dalam bertransaksi umat Islam terus menggunakan mata uang Dinar dan Dirham yang diadopsi dari peradaban Romawi dan Persia. Baru pada zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan, salah seorang khalifah dari Bani Umayah. Islam terlepas dari mata uang Romawi dan Persia. Islam sudah bisa menciptakan Dinar dan Dirhamnya sendiri.

Pertanyaan selanjutnya adalah sebenarnya apa sih fungsi dari uang itu? Bertanya kepada siapapun, atau membaca dari sumber mana pun pasti jawabannya adalah uang itu sebagai alat tukar. Dalam sistem perekonomian manapun, fungsi utama uang adalah sebagai alat tukar. Dari fungsi utama ini diturunkan fungsi-fungsi lain seperti:uang sebagai penyimpan kekayaan, uang sebagai satuan hitung, uang sebagai pembakuan nilai dan uang sebagai pembakuan pembayaran tangguh.

Namun ada satu hal yang sangat berbeda antara sistem kapitalis dengan sistem Islam dalam memandang uang. Dalam sistem perekonomian kapitalis uang tidak hanya sebagai alat tukar yang sah, melainkan juga sebagai komoditas. Menurut sistem kapitalis ini uang juga dapat diperjualbelikan, lebih jauhnya lagi uang juga dapat disewakan.

Sedangkan dalam Islam apapun yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanyalah sebagai alat tukar. Ia bukan suatu komoditas yang bisa diperjualbelikan. Pada umumnya para ilmuwan sosial islam menyepakati fungsi uang sebagai alat tukar saja. Diantara para ulama itu adalah Imam Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Raghib al-Ashbahani, Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, dan Ibnu Abidin. Mereka dengan jelas menandaskan bahwa fungsi uang hanyalah sebagai alat tukar.

Ini merupakan salah satu perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional. Dalam Islam tidak ada yang namanya jual beli uang. Kecuali ditukarkan dengan nominal yang sama. Sedangkan dalam sitem kapitalis uang bukan hanya sebagai alat tukar tapi juga bisa diperjualbelikan. Contoh kongkritnya adalah adanya pasar uang dalam sistem ekonomi konvensional. Pada intinya pasar uang ini menghasilkan sesuatu yang kita kenal dengan nama bunga. Kita sama-sama tahu bahwa bunga dalam Islam adalah dilarang. 


Kadang tentu kita akan bertanya-tanya mengapa dalam Al-Qur’an ataupun hadist Rasulullah SAW, hanya ada dua mata uang yaitu Dinar dan Dirham. Sedangkan kalau kita lihat zaman sekarang hampir tidak ada mata uang yang menggunakan Dinar dan Dirham. Malah yang banyak digunakan adalah mata uang kertas.

Sebenarnya, mata uang bisa dibuat dari apa saja. Bahkan kata Khalifah Umar bin Khattab bisa dibuat dari kulit unta. Dan juga menurut Ibnu Taimiyah bahwa uang sebagai alat tukar bisa diambil dari apa saja yang disepakati oleh adat yang berlaku. Ia tidak harus terbatas dari emas dan perak. Ketika benda tersebut telah ditetapkan sebagai mata uang yang sah, maka barang tersebut telah berubah fungsinya dari barang biasa menjadi suatu alat tukar.

Oleh karena itu, ketika uang kertas telah menjadi alat pembayaran yang sah, sekalipun tidak dilatarbelakangi oleh emas dan perak, maka kedudukannya dalam hukum sama dengan kedudukan emas dan perak yang pada waktu Al-Qur’an diturunkan tengah menjadi alat pembayaran yang sah.

*)Oleh : Martina Nofra Tilopa (Koordinator Devisi Kaderisasi KSEI IAIN Imam Bonjol Padang)

Kiamat Kecil Sistem Ekonomi Dunia

Munculnya kapitalisme diawali dari terbitnya buku yang sangat dipuja oleh kaum ekonom klasik, The Wealth of Nations karangan Adam Smith. Dengan teori The Invisible Hand yang mengungkapkan bahwa ekonomi berjalan optimum dan efisien dengan sendirinya. Peran pemerintah terhadap sektor ekonomi diharapkan tidak ada. Dalam kerangka teori klasik, pemerintah dianggap akan mendistorsi pasar dari titik keseimbangan ekonomi (equilibrium).


Pada kenyataannya ada kesenjangan antara ranah teoritik dengan realitas. Pemikiran Adam Smith terbukti secara empiric tidak dapat mengakomodasi tujuan ilmu ekonomi sesungguhnya, yaitu kesejahtraan masyarakat. Maka bermunculanlah modifikasi dari sistem kapitalisme itu sendiri yang menantang keberadaan kapitalis ortodoks.


Sistem ekonomi yang berakar dari prinsip kapitalismepun tetap sering mengalami kegagalan-kegagalan. Ini terbukti dengan berkali-kalinya terjadi krisis ekonomi di dunia. Lihat saja peristiwa great Depression tahun 1933 yang mencoreng nama besar kapitalisme. Pada tahun 1997 krisis kembali terjadi yang mempeorak-porandakan perekonomian Asia Timur bermula dari Jepang yang berakibat sistem ekonomi Indonesia juga mengalami dampak akan krisis tersebut, pada tahun 2008 krisis kembali terjadi, krisis ini berasal dari sistem perekonomian di Amerika Serikat penyebabnya krisi perumahan dengan suku bunga yang tinggi sehingga sampai akhir tahun 2009 perbankan di Amerika telah tutup (bangkrut) sebanyak 120 bank. Pada tahun 2011 ini para ekonom dunia dan pemimpin dunia dikejutkan dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi di Eropa dan Amerika penyebab krisis tersebut ialah buble ekonomi. Indonesia mengencangkan ikat pinggang untuk mengantisipasi krisis tersebut bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Krisis pada tahun 2011 ini lebih parah dari tahun 2008 yang berdampak dikeluarkannya kebijakan pemerintah untuk memberikan stimulus sebesar 6,5 Triliun Rupiah kepada Bank Century.

Masalah kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran acapkali terjadi di dunia ke-3. Bayangkan saja, ketika pendapatan rata-rata dunia secara riil naik sekitar 3,5% dari awal tahun 90-an sampai tahun 2010, secara bersamaan justru terjadi peningkatan jumlah masyarakat miskin dunia (pendapatan kurang dari 3$ per hari). Berkaca dari kasus ini, dapat disimpulkan adanya ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang sangat kasat. Jika dari awal sistem ekonomi yang dijalankan adalah sebuah sistem yang ideal, tentunya kasus seperti ini tidak akan pernah terjadi.

Bila kita amati kasus-kasus yang sebelumnya telah dipaparkan, tentunya dapat kita ketahui bahwa kasus tersebut merupakan dampak negative penerapan sistem ekonomi kapitalis secara luas. Namun penting juga untuk diperhatikan secara subtansif akar dari krisis ekonomi tersebut. Yaitu dengan memaparkan akar permasalahan secara focus pada salah satu masalah ekonomi yang paling krusial dan selalu di hadapi setiap negara, salah satunya adalah inflasi.

Inflasi dalam sistem kapitalisme menjadi salah satu siklus yang terus berulang-ulang dan bagaimanapun harus dihadapi oleh setiap negara di dunia. Lagi pula para ekonom sepakat bahwa inflasi dalam tingkatan yang moderat merupakan hal yang lazim dan justru dapat berakibat baik bagi perekonomian. Namun apabila yang terjadi adalah tingkat inflasi yang tinggi, ini tentu saja dapat menghalangi laju perkembangan ekonomi suatu negara secara signifikan.

Faktor penyebab terciptanya inflasi adalah sistem kapitalisme itu sendiri. Munculnya krisis financial terutama disebabkan penggunaan mekanisme bunga dalam perekonomian. Hal ini mengakibatkan keputusan investasi tidak berlangsung terhadap sektor riil. Implikasinya berupa pertumbuhan sektor financial yang lebih tinggi daripada sektor barang dan jasa. Konsekuensi logis dari masalah ini berupa tingkat inflasi yang tidak wajar dan seharusnya tidak terjadi, ini disebabkan daya beli uang terhadap barang dan jasa menurun.

Selain inflasi, bunga juga dapat menimbulkan hal buruk lain bagi perekonomian berupa mekanisme spekulasi yang motifnya dianggap telah lazim dalam perekonomian modern. Menarik memang apabila kita memperhatikan di mana sebuah krisis biasanya selalu diawali dengan mismanajemen sektor financial. Mengapa demikian terjadi? Mengapa ketika terjadi krisis ekonomi selalu diikuti dengan terjadinya inflasi yang tinggi bahkan hingga hiperimplasi?

Kapitalisme selalu saja melahirkan krisis yang sebenarnya pada setiap krisis yang terjadi memiliki karakteristik yang sama. Ini berarti bahwa sebenarnya sistem yang diagung-agungkan oleh hampir sebagian besar negara di dunia itu memiliki kekurangan yang fundamental. Memang beberapa kali tampak pembenahan terjadi disana-sini pada sistem kapitalisme, namun rupanya bukan kesalahan fundamental-lah yang diperbaiki.

Dari sini, ditakutkan akan terjadi krisis yang sama lagi pada suatu dekade di suatu masa. Namun, kali ini dapat dipastikan lebih parah terlihat semakin membabi-butanya praktek spekulasi sejak diberlakukannya fiat money diprediksikan akan membawa dunia pada kiamat kecil. Suatu hal terjadi dunia mulai panic dengan ketimpangan yang semakin besar. Dunia kehilangan akal sehat atas ketidak rasionalan angka-angka inflasi. Pertumbuhan telah tinggi, tapi tetap saja angka kemiskinan tinggi.

Indonesia merupakan bagian dari dunia dimana kapitalisme telah mengglobal atau lebih dikenal dengan kapitalisme global. Berangkat dari sejarah yang seolah-olah berulang pula, Indonesia merasakan dampak dari “kiamat kecil” sistem ekonomi dunia tahun 2011.

Hal ini tetntu masuk akal karena Indonesia, sudah menjadi aib umum, berada dalam hegemoni kapitalisme global. Intervensi vendor-vendor kapitalis telah jelas terasa pada setiap kebijakan yang dijalankan di Indonesia. Intervensi ini dipermudah oleh jeratan utang yang mereka sebut sebagai senjata neoimprealisme. Termasuk di dalamnya kebijakan moneter yang diterapkan. Sehingga kesalahan yang terjadi di “pusat” sana justru lebih berdampak di negara jajahan yaitu salah satunnya Indonesia. Akibatnya pula ketika pusat menerapkan sistem fiat money, Indonesia tanpa menanya lebih lanjut menyepakati fatwa si bos dan memberlakukan sistem yang sama di negerinya. Seolah-olah pemberlakuan sistem fiat money merupakan konsensus dunia.

Salah satu, dampak itu jelas terasa karena sebenarnya sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia adalah sistem kapitalis itu sendiri. Lucunya, krisis ini terjadi seolah-olah merupakan kutukan akibat telah menipu rakyat dan dunia. Indonesia mengaku telah menggunakan sistem ekonomi demokrasi pancasila, namun praktek yang dilaksanakan adalah sistem ekonomi kapitalis itu sendiri.


*)Yusuf Faisal (Presiden Kelompok Studi Ekonomi Islam IAIN IB PADANG)

KAYA VS MISKIN

Berbicara tentang fenomena perekonomian, kita tidak terlepas dari permasalahan yang tidak mungkin dapat dipungkiri, yaitu terkait dengan kesenjangan perekonomian “kaya dan miskin”. Sekarang tinggal bagi kita, akankah kita menganggap “kaya vs miskin ataukah kaya = miskin?”.

Tidak sedikit terjadi kesenjangan-kesenjangan sosial dalam masyarakat. Banyak orang yang bilang bahwa kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini terjadi karena kesenjangan sosial. Kesenjangan-kesenjangan sosial ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kesenjangan sosial dapat diartikan dengan gap (jurang) yang semakin meruncing antara sikaya dan simiskin. Dimana, orang kaya dengan kapital dan kekuasaannya mendominasi perekonomian. Sementara, orang miskin hanya bisa menerima apa adanya.

Mengapa ada kaya dan ada miskin?
Yang pertama, bahwa kaya dan miskin itu disebabkan oleh takdir.
Kita percaya kepada takdir, namun kita tidak pernah tahu kapan takdir itu benar-benar sudah akan hadir. Kita baru bisa mengatakan itu takdir jika usaha secara maksimal sudah dikerjakan. Jika usaha belum maksimal itu artinya kemalasan berkedok takdir, yang berarti su’u al-zhan kepada Allah.

Yang kedua, bahwa kaya dan miskin itu disebabkan karena faktor malas.
Bagaimanapun ada program pengentasan kemiskinan, namun jika simiskin sendiri tidak mau bekerja keras, tidak mau bersusah-susah belajar dan bekerja, tidak mau berusaha untuk terlepas dari kemiskinan dan membenci dirinya kalau miskin, semua akan sia-sia. Seandainya mereka diberi uang semua cenderung akan dimanfaatkan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif. Jadi. Langkah awal untuk mengatasi ini adalah harus ada usaha perubahan mental simiskin itu sendiri. Tanpa adanya perubahan mental ini, tidak mungkin simiskin akan menjadi kaya, karena tidak akan berani untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya memang berat agar dapat melepaskan diri dari kemiskinan itu. Harus dipertegas dalam diri bahwa agar membenci dirinya kalau miskin, bukan untuk membenci orang lain yang miskin. Allah sendiri berjanji dalam QS Al-A’ra’ad ayat 11 bahwa:

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia


“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS Al-Mulk: 15)


Orang lain yang kaya harus dihormati, kalau perlu diakui. Namun jika kekayaannya itu diperoleh dengan cara yang haram, mencuri, merampok, korupsi, kolusi, merampas, menipu dan semacamnya, itu bukan kekayaan yang ada tapi keserakahan dengan cara haram dan melanggar hukum. Ini yang harus ditegakkan keadilan dan ketertiban hukum. Meskipun kekayaan diperoleh dengan cara yang halal, namun harus ditekankan untuk menjadi manusia yang gemar berdharma dan beramal shaleh. Untuk itu dibutuhkan peran pemerintah dalam memberikan pemahaman bagi masyarakat serta alat-alat Negara itu sendiri untuk menyisihkan sebagian harta mereka demi kepentingan pembangunan SDM orang-orang miskin.

Selain itu, hal terpenting adalah, kemiskinan disebabkan oleh keserakahan dari sikaya.

Faktanya, orang yang sudah tamat kuliahpun masih menganggur. Bukan karena faktor kemalasan, tapi karena tidak mempunyai koneksi dan kesempatan. Keserakahan sikaya itulah yang menutup kesempatan kepada simiskin!. Keserakahan juga untuk memperkuat keluarga, kenalan, atau kelompok etnik, dan tidak memberi kesempatan kepada orang lain, untuk selanjutnya, masalah kesempatan untuk mendapat pekerjaan seharusnya diwujudkan secara adil.

Keserakahan menjadi malapetaka yang sangat menghancurkan bagi perekonomian. Terbukti dengan berapa banyak orang yang hidup dengan limpahan harta, serta berapa banyak orang yang hidup di dalam kemelaratan dan di bawah garis kemiskinan. Hati manusia yang masih dipenuhi kesekarahan membuatnya hidup dalam kekurangan dan takut kehilangan, sehingga tidak mau berbagi dengan yang lain. Keserakahan adalah jubah kemiskinan yang menyedihkan yang masih sering dipakai tak rela untuk dilepas.

Melihat kontras antara kaya dengan miskin itu sendiri, Hendry George (ahli ekonomi Amerika), ia juga ikut mengutuk fenomena kontras kekayaan dan kemiskinan, “selama kekayaan yang terus meningkat, yang dihasilkan oleh kemajuan modern hanya untuk membangun keuntungan, meningkatkan kemewahan, dan mempertjam kontras antara rumah sikaya dengan rumah simiskin, maka kemajuan itu tidak real dan tidak permanent”.

Namun dengan prinsip-prinsip barat yang sangat mengagung-agungkan capital (modal), tidak akan bisa mengembalikan kesetaraan dikalangan manusia. Mereka hanya mementingkan keuntungan sebanyak-banyaknya, mengeksploitasi untuk kekayaan pribadi dan memonopoli capital, serta tidak memberi kesempatan bagi orang-orang yang tidak mempunyai capital untuk ikut bersaing. Kritikan-kritikan mereka (barat) itu tidak mampu mengubah perekonomian menjadi lebih baik, mereka tinggal di belakang sebagai menara gading dan hanya dianggap sebagai figur-figur sejarah, yang sampai saat ini hanya memperlebar jurang pemisah antara sikaya dan simiskin dengan konsep distribusi yang tidak adil.

Kemiskinan semakin lama semakin akut. Sebab, kemiskinan yang terjadi saat ini bersifat semakin sangat multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan dan dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri ini. Banyaknya orang antre berdesakan dan terinjak-injak saat pembagian zakat, sedekah atau amal jariah dalam bentuk bagi-bagi uang dan sembako oleh orang-orang kaya atau pejabat di negeri, ini adalah buktinya. Serta faktanya di Indonesia, jerat kemiskinan makin kronis. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 saja mencapai 30,02 juta atau 12,49 persen.

Jika kita lirik, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah warga miskin saat ini sekitar 13,3 persen (31 juta dari 240 juta jiwa penduduk) dengan acuan standar kemiskinan Rp 211.726 per bulan atau sekitar Rp 7.000 per hari. Coba bayangkan jika pemerintah menggunakan standar kemiskinan internasional USD 2 per hari. Ada sekitar 110 juta jiwa penduduk Indonesia yang hidup tidak layak alias di bawah garis kemiskinan.

Jangankan Indonesia, negara yang katanya super power juga mengalami permasalahan kemiskinan yang memang sulit untuk diatasi. Data terbaru yang dirilis Selasa (13/9) menunjukkan jumlah warga AS yang hidup di bawah garis kemiskinan terus bertambah. Menurut data, tingkat kemiskinan secara nasional di Amerika meningkat menjadi 15,1 persen pada tahun terakhir ini dan angka itu merupakan level tertinggi sejak tahun 1993. Berdasarkan prosentase itu, rakyat AS yang hidup dibawah garis kemiskinan jumlahnya mencapai 46,2 juta jiwa, bertambah 2,6 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya. Inilah potret yang memang tidak dapat dipungkiri.

Berbicara mengenai kebobrokan sistem kapitalis, Muara yang tidak terhindarkan dari dampak langsung krisis kapitalisme Amerika itu adalah pada meningkatnya potensi pemutusan hubungan kerja di Indonesia, karena keuangan Indonesia juga terkait dengan keuangan Amerika. Hingga akhir 2008, tingkat PHK yang terjadi diperkirakan sudah mencapai sekitar 100.000 orang. Sedangkan untuk tahun 2009, menurut perkiraan sementara, tingkat PHK cenderung meningkat menjadi sekitar 500.000 hingga satu juta orang, serta semakin meningkat ditahun terakhir yang juga telah meningkatkan tingkat kemiskinan.

Inilah yang menjadi problem dunia secara umum. Berapa banyak orang yang terlalu kaya, dan berapa banyak orang yang terlalu miskin? Sehingga gap antara keduanya sangat luas, yang berawal dari keserakahan orang-orang yang memiliki kapital serta tidak adanya kesadaran untuk distribusi kekayaan.


Pantaskah kaya vs miskin?

Jika kita berkiblat pada ekonomi kapitalis, menjadi hal yang biasa, karena mereka hanya mementingkan profit oriented (laba). Surplus value (nilai lebih) hanya dinikmati oleh orang kaya (the heave) yang mempunyai kapital, bagaimana mereka bisa menguasai perekonomian. Sementara orang miskin (the heave not) harus menerima keadaan dan hidup tertindas. Mereka tidak peduli dengan nasib kaum proletar.

Prinsip kapitalisme sering kali menumbuhkan berbagai dampak yang berujung pada diskriminasi, baik diskriminasi terhadap labour (tenaga kerja) ataupun land (SDA). Akibatnya kesenjangan antara simiskin dan sikaya tidak akan pernah berakhir.


Jika kita kembali kepada sistem agama Islam secara murni yang sangat menjunjung rasa kemanusiaan, saling berbagi, sangatlah tidak pantas prinsip profit oriented ini dibumikan. Jika prinsip ini menjadi pegangan saat ini, akan bagaimana perekonomian ke depannya?. Islam membenci keserakahan serta Islam menawarkan distribusi pendapatan antara sikaya dengan simiskin melalui pemotensian zakat produktif (pemberian zakat untuk kegiatan produksi), serta meminimalkan zakat untuk kegiatan konsumtif.

Ternyata ketiga faktor tersebut memang suatu kebenaran adanya. Agama pada dasarnya mengajarkan kita untuk kaya, sehingga mampu membayar zakat, berzakat ataupun bersedekah, bukan mengajarkan kita untuk menjadi pengemis, serta capital (kekayaan) memang harus didistribusikan agar gap antara sikaya dan simiskin dapat diminimalisir. 



*) Oleh:Meria Susanti (Bendahara Umum Kelompok Studi konomi Islam (KSEI) Iqthisad Institute IAIN IB Padang)

IJMA’ ULAMA TENTANG KEHARAMAN BUNGA BANK

Adalah keliru besar, jika ada orang yang mengatakan bahwa ulama saat ini berbeda pendapat tentang hukum bunga bank. Telah banyak penelitian ilmiah yang dilakukan para ahli ekonomi Islam dan ulama berkaliber dunia tentang ijma’nya para ulama tentang keharaman bunga bank, di antaranya oleh Prof. Dr.M.Umer Chapra, Prof. M.Akram Khan, Prof.Dr.Yusuf Qardhawi, dll. Tulisan ini ingin mengetengahkan pembahasan tentang telah terjadinya ijma’ seluruh ulama dunia mengenai keharaman bunga (interest), baik bunga bank, asuransi, pegadaian, koperasi, obligasi dan seluruh institusi yang menerapkan sistem bunga. 

Pengertian Ijma’
Para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijma’ yaitu, kesepakatan semua ulama mujtahid dari ummat Islam pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah terhadap suatu hukum syara’. Demikian Rumusan Abdul Wahhab Khallaf dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh Defenisi dari berbagai literatur yang lain juga memberikan pengertian yang sama dengan Abdul Wahhab Khallaf.

Para ulama menetapkan bahwa ulama yang melakukan ijma’ adalah orang yang memenuhi syarat. Salah satu syaratnya adalah ulama tersebut memahami persoalan (masalah) yang diijtihadi. Syarat ini sangat masuk akal, sebab, bagaimana mungkin seorang ulama berijtihad tentang suatu masalah, sementara ia tidak mengetahui masalah yang diijthadi. Seorang ulama yang berijtihad tentang bunga bank, haruslah mengerti ilmu ekonomi makro, misalnya kaitan (dampak) bunga terhadap investasi, produksi, unemployment, inflasi, kaitan bunga dengan spekulasi dan volatilitas mata uang di suatu negara, dsb. Dia juga harus mengerti teori-terori tentang bunga dan tentunya mengerti konsep ekonomi Islam tentang fungsi uang. Pendeknya ia faham tentang ilmu moneter Islam..

Ijma’ dan Istiqra
Penetapan telah terjadinya ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank bukan kesimpulan yang bersifat gampangan, tetapi setelah melakukan istiqra (penelitian) yang mendalam terhadap pendapat semua pakar ekonomi Islam sejak tahun 1970-an hingga saat ini.

Ulama (pakar) yang mengatakan ijma’nya ulama tentang keharaman bunga bank bukan sembarang ulama dan bukan satu dua orang. Mereka adalah para ulama yang ahli ilmu ekonomi, yang umumnya mereka sarjana ekonomi Barat. Kapasitas mereka sebagai ilmuwan ekonomi Islam tidak diragukan sedikitpun, karena latar belakang keilmuwan mereka sejak awal adalah ilmu ekonomi konvensional, tetapi mereka memahami syari’ah secara mendalam. Jumlah mereka sangat banyak. Menurut Yusuf Qardhawi mencapai 300 orang. Hasil karya intelektual mereka tentang ekonomi Islam yang telah dipublikasikan, sejak tahun 1960-an sampai sekarang, lebih dari 2000-an buah dalam bentuk buku dan tulisan di juornal-juornal ilmiah. Sekedar menyebut sebagian nama-nama mereka antara lain, 1. Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, 2. Prof. Dr. Muhammad Abdul Mannan,MA, 3. Prof. Dr. M. Umer Chapra, 4. Prof. Dr. Masudul Alam Khudary, 5. Prof. Dr. Monzer Kahf, 6. Prof. Dr. M. Akram Khan, 7. Prof. Dr. Kursyid Ahmad, 8. Prof. Dr. Dhiauddin Ahmad, 9. Prof. Dr. Muhammad Muslehuddin, 10.Prof. Dr. Afzalur Rahman, 11. Prof. Dr. Munawar Iqbal Quraisy, 12. Prof. Dr. Hasanuz Zaman, 13. Prof. Dr. M. Sudin Haroen, 14. M. Fahim Khan, 15. Prof. Dr. Volker Ninhaus, 16. Prof. Dr. Mustaq Ahmad. 17. Dr. Abbas Mirakhor, 18. Ausaf Ahmad, 19. Rauf Ahmed Azhar, 20. Syed Nawab haidar Naqvi, 21. Baqir al-Sadr, 22. Ahmad Najjar, 23. Ahmad Shalah Janjum (Pakistan), 24. Muhammad Ahmad Sakr, 25. Kadim Al-Sadr, 26. Abdul Hadi Ghanameh, 27. Manzoor Ali, 28. Dr. Ali Ahmad Rusydi, 29. Dr. Muhammad Ariff, 30. Dr. Zubeir Hasan, 31. Prof. Dr Muhammad Iqbal Anjum, 32. Prof. Dr. Mazhar Islam, 33. Dr. Fariruddin Ahmad, 34. Dr. Syahadat Husein 35. Dr. Badruddin (Oman) 36. Dr. Mabid Ali Al-Jarhi, 37. Prof. Dr. Anas Zarqa, 38. Dr.Muhammad Uzei, 40. Dr. F.R Faridi, 41. Dr. Mahmud Abu Su’ud. 42. Dr. Ijaz Shafi Ghilani, 43. Dr. Sahabuddin Zain, 44. Mukhtar M. Metwally, 45. Dr. Hasan Abu Rukba, 46. Muhammad Hameedullah, 47. B.S Sharraf 48. Dr. Zubair Hasan, 49. Skharur Rafi Khan, 50. Prof. Dr. Mahmud Ahmad. 51. dan lain-lain.

Masih banyak lagi pakar ekonomi Islam lainnya. yang tidak dipaparkan di sini. Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi dunia yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.

Karena kesepakatan para pakar ekonomi Islam itulah, maka Prof. Dr. M. Umer Chapra mengatakan bahwa mereka ijma’ tentang keharaman bunga bank. Chapra adalah ahli ekonomi Islam paling terkemuka saat ini dan sangat produktif menulis tema-tema ekonomi Islam. Karena itu ia mendapat Award Faisal dari kerajaan Saudi Arabia, lantaran karya-karyanya yang spektakuler di bidang ekonomi Islam.

Menurut M.Umer Chapra, ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para pakar yang ahli ekonomi itu yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Econmic,( 2000).

Jadi, dalam penelitian Umer Chapra, tak sartu pun ulama yang ditemuinya membolehkan bunga bank. Dalam merespon pernyataan Umer Chapra tersebut, kita tentu bertanya. Bukankah ada ulama yang membolehkan bunga.? Nah, dalam pandangan Umer Chapra, kalaupun ada tokoh yang membolehkan bunga, misalnya Ahmad Khan (India) pada abad 19. Tokoh itu dinilainya tidak berkapasitas sebagai ahli ekonomi. Dan tak memiliki keilmuan yang memadai tentang ilmu ekonomi, khususnya ilmu moneter. Sedangkan untuk memustuskan suatu hukum, haruslah orang itu ahli di bidang hukum yang diputuskannya itu. Demikian pula misalnya Ahmad Hasan dari Indonesia, dia bukanlah seorang ekonom yang faham tentang ilmu moneter dan ekonomi makro atau ekonomi pembangunan. Jadi dalam kerangka pemikiran Umer Chapra, segelintir tokoh-tokoh itu, sama sekali tak memiliki keilmuan yang memadai tentang ilmu moneter dan oleh karena itu pendapat mereka tidak mu’tabar (diakui).

Selain Prof. Dr M. Umer Chapra, ahli ekonomi Islam yang mengatakan ijma’nya ulama tentang keharaman bunga bank adalah Prof. Dr. M. Akram Khan, seorang pakar ekonomi terkemuka dari Pakistan. Sebagai seorang ekonom muslim, beliau melakukan penelitian terhadap pendapat para ahli ekonomi Islam di seluruh dunia. Dalam penelitiannya beliau tidak menemukan ada pakar (ilmuwan) ekonomi Islam yang membolehkan bunga bank.

Sebagaimana Umer Chapra, Prof. Dr. M. Akram juga mengatakan ijma’nya ulama tentang bunga bank. Dia mempejalari pendapat-pendapat para ahli yang diakuinya sebagai ulama kridible dalam bidang ekonomi. Beliau tentu telah membaca ribuan buku tentang ekonomi Islam yang menjadi bidang keahliannya. 



*)Oleh : Drs.Agustianto, M.Ag (Sekretaris Jendral Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Pusat dan Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta Sekaligus Pembimbing KSEI Univeristas Indonesia)

SISTEM DISTRIBUSI PENDAPATAN ISLAM MENGANDUNG KONSEP MORAL

Menurut paham kapitalisme, setiap individu harus memiliki kebebasan sepenuhnya agar ia dapat memproduksi kekayaan dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan kemampuan yang ia miliki sejak lahir. Paham kapitalisme juga mengakui tak terbatasnya hak individu dalam pemilikan pribadi serta menghalalkan pendistribusian yang tidak adil. Pandangan ekstrem lainnya yaitu paham komunisme menyetujui penghapusan kebebasan individu dan pemilikan pribadi secara menyeluruh, dan pada saat yang sama menginginkan pemerataan ekonomi di antara penduduk. Dengan kata lain, paham kapitalisme menekankan pada produksi kekayaan, sedangkan paham komunisme pada distribusi kekayaan, dengan tidak memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat.

Dalam konteks ini, Islam mengambil jalan tengah antara pola kapitalis dan sosialis yaitu tidak memberikan kebebasan mutlak maupun hak yang tidak terbatas dalam pemilikan kekayaan pribadi bagi individu dalam lapangan produksi, dan tidak pula mengikat individu pada sebuah sistem pemerataan ekonomi yang di bawah sistem ini ia tidak dapat memperoleh dan memiliki kekayaan secara bebas. Islam menganggap bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang paling sempurna, paling mulia dan bahkan manusia diberikan kepercayaan sebagai sebagai khalifah yang bertugas untuk mengelola dunia guna mencapai kemakmuran.


Merujuk pada pesan Al-Quran dalam bidang ekonomi, dapat dipahami bahwa Islam mendorong penganutnya untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT, maka karunia tersebut harus didayagunakan untuk meningkatkan pertumbuhan, baik materi maupun nonmateri dengan bekerja/berjuang untuk mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti aturan-aturan yang ada. Maka dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah, maka konsep produksi dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk maksimalisasi keuntungan akhirat. Urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat. Islam mengarahkan mekanisme berbasis spiritual dalam pemeliharaan keadilan sosial pada setiap aktifitas ekonomi.
Qardhawi menjelaskan bahwa distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting yaitu:


1.Nilai kebebasan
Islam menjadikan nilai kebebasan sebagai faktor utama dalam distribusi kekayaan adalah persoalan tersebut erat kaitannya dengan keimanan kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Tauhid mengandung makna bahwa semua yang ada di dunia dan alam semesta adalah berpusat pada Allah. Maka hanya kepada Allah saja setiap hamba melakukan pengabdian, Dia-lah yang menentukan rezki dan kehidupan manusia tanpa seorang pun bisa mengaturnya. Siapa saja yang mengatakan bahwa dia bisa memberikan rezki pada orang lain maka berarti orang tersebut telah sombong dan melanggar otoritas Tuhan.

Sesungguhnya kebebasan yang disyari’atkan oleh Islam dalam bidang ekonomi bukanlan kebebasan mutlak yang terlepas dari setiap ikatan. Tapi ia adalah kebebasan yang terkendali, terikat dengan nilai-nilai “keadilan” yang diwajibkan oleh Allah. Hal itu karena tabiat manusia ada semacam kontradiksi yang telah diciptakan Allah padanya untuk suatu hikmah yang menjadi tuntutan pemakmuran bumi dan keberlangsungan hidup. Di antara tabi’at manusia yang lain adalah bahwa manusia senang mengumpulkan harta sehingga karena terlalu cintanya kadang-kadang keluar dari batas kewajaran.

2. Nilai keadilan
Keadilan dalam Islam bukanlah prinsip yang sekunder. Ia adalah cikal bakal dan pondasi yang kokoh yang memasuki semua ajaran dan hukum Islam berupa akidah, syari’ah dan akhlak (moral). Keadilan tidak selalu berarti persamaan. Keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu baik moral ataupun materil.

Sudah menjadi kesepakatan semua syariat Allah untuk mewajibkan keadilan dan mengharamkan kezaliman dalam segala sesuatu dan kepada segala sesuatu. Allah mengutus para Rasul-Nya dengan membawa kitab-kitab suci dan neraca keadilan, agar manusia menegakkan keadilan pada hak-hak Allah dan makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, serta telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. al-Hadid: 25)

Untuk menegaskan perintah adil dan pengharaman kezaliman Allah, pertama adalah Allah mengharamkannya atas diri-Nya, kemudian Allah menjadikannya terlarang di antara para makhluk-Nya, sebagaimana tertuang dalam hadits qudsi yang berbunyi, “Sungguh, Allah telah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, sungguh aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan menjadikannya terlarang di antara kalian, maka janganlah saling menzalimi!’ “ (Hr. Muslim)

Jelaslah, kezaliman terlarang dalam semua keadaan, dan keadilan adalah wajib dalam semua keadaan, sehingga dilarang berbuat zalim kepada orang lain, baik muslim atau kafir. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Semua kebaikan masuk dalam keadilan dan semua kejelekan masuk dalam kezaliman. Oleh karena itu, keadilan adalah perkara wajib dalam setiap sesuatu dan atas setiap orang, dan kezaliman dilarang pada setiap sesuatu dan atas setiap orang, sehingga dilarang menzalimi seorang pun–baik muslim, kafir, atau zalim–, bahkan boleh atau wajib berbuat adil terhadap kezaliman juga.” Beliau pun menyatakan, “Semua yang Allah larang kembali kepada kezaliman dan semua yang diperintahkan kembali kepada keadilan.”

Banyak nash (dalil) al-Quran dan as-Sunnah yang memerintahkan berbuat adil dan melarang berbuat zalim, di antaranya adalah firman Allah SWT:“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) untuk menetapkan dengan adil apabila menetapkan hukum di antara manusia.” (Qs. an-Nisa`: 58)

Ayat-ayat di atas berisi perintah merealisasikan dan menegakkan keadilan di antara manusia, karena seluruh larangan Allah SWT kembali kepada kezaliman. Kemudian, di antara dalil kewajiban berbuat adil dan larangan zalim adalah ijma’ (kesepakatan) ulama tentang pengharaman mengambil harta orang lain dengan zalim dan permusuhan. Melalui hal ini, telah jelaslah bahwa keadilan dan larangan zalim adalah pokok wajib dalam muamalah, karena hanya dengannya muamalah manusia akan baik dan rukun.

Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Wajib mengadili manusia dalam permasalahan harta dengan adil sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti pembagian warisan kepada ahli waris sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah. Demikian juga dalam muamalah, berupa jual-beli, sewa-menyewa, wakalah, syarikat, pemberian, dan sejenisnya dari muamalah yang berhubungan dengan akad transaksi dan serah terima, maka bersikap adil dalam masalah tersebut adalah tonggak alam semesta yang menjadi dasar baiknya dunia dan akhirat.”

Di antara bentuk sikap adil dalam muamalah ada yang sudah jelas, semua orang mengetahuinya dengan akal mereka, seperti kewajiban membayar bagi pembeli, kewajiban penjual menyerahkan barang kepada pembeli, pengharaman mengurangi timbangan dan takaran, kewajiban jujur dan menjelaskan keadaan barangnya, pengharaman dusta, khianat dan bohong, balasan utang adalah penunaiannya (pada temponya), serta pujian dan lain sebagainya.

Distribusi Pendapatan Dalam Islam
Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran harta yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang berhak menerima, dan umum meningkatkan kesejahteraan masyrakat, sesuai dengan peraturan yang ada dalam islam (syaria’t).

Fokus dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses pendistribusiannya dan bukan output dari distribusi tersebut. Dengan demikian jika pasar mengalami kegagalan (fairlure) ataupun ketidakadilan (not fair) untuk berlaku sebagai instrument distribusi pendapatan, maka frame fastabiqul khairat akan mengarahkan semua pelaku pasar dan perangkat kebijakan pemerintahnya kepada proses redistrubusi pandapatan. Secara sederhana bisa digambarkan, kewajiban menyisihkan sebagian harta bagi pihak surplus (yang berkecukupan) diyakini sebagai kompensasi atas kekayaannya dan di sisi lain merupakan insentif (perangsang) untuk kekayaan pihak defisit agar dapat dikembangkan kepada yang lebih baik.

Distribusi pendapatan dalam Islam yang dijadikan batasan kebutuhan adalah maqasidul Syar’i (agama, diri/personal, akal, keturunan dan harta). Sistematika yang dikembangkan oleh para fuqoha dalam memenuhi maqasidul syar’i mengacu pada skala prioritas dengan urutan sebagai berikut:

1) Ad-Daruriyyah: suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kebaikan dan kepentingan umum dalam menjalani hidup di dunia dan di akhirat.
2) Al-Hajiyah: suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kemudahan dan penghindaran dari kesulitan dalam menjalani hidup di dunia dan di akhirat.
3) At-Tashniyyah: suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kelengkapan dan kecakapan melaksanakan hidup di dunia dan di akhirat.

Islam sendiri menawarkan konsep optimalisasi proses distribusi-redistribusi pendapatan. Konsep ini menuntut bantuan otoritas dari pemerintah (Negara) dan ada pula yang memang sangat bergantung pada konsep ketaatan dan karitatif personal (rumah tangga) maupun masyarakat muslim.

Distribusi Pendapatan Dalam Rumah Tangga (Household)
Mengingat nilai-nilai Islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga seorang muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktifitas ekonomi di dalamnya, harus dilandasi legalitas halal haram mulai dari: produktivitas, hak kepemilikan, konsumsi, transaksi dan investasi. Aktivitas yang terkait dengan aspek hukum tersebut kemudian menjadi muara bagaimana seorang muslim melaksanakan proses distribusi pendapatannya.

Distribusi pendapatan dapat konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan terminology shadaqoh. Pengertian shadaqoh di sini bukan berarti sedekah dalam konteks pengertian bahasa Indonesia. Karena shadaqoh dalam konteks terminologi Al-Qur’an dapat dipahami dalam beberapa aspek, yaitu;

Pertama : Instrumen shadaqoh wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang muslim) yang mana meliputi:
1. Nafaqah: Kewajiban tanpa syarat dengan menyediakan semua kebutuhan pada orang-orang terdekat.
2. Zakat: Kewajiban seorang muslim untuk menyisihkan sebagian harta miliknya, untuk didistribusikan kepada kelompok tertentu (delapan asnaf).
3. Udhiyah: Qurban binatang ternak pada saat hari tasyrik perayaan Idhul Adha.
4. Warisan: pembagian asset kepemilikan kepada orang yang ditinggalkan setelah meninggal dunia.
5. Musa’adah: Memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami musibah.
6. Jiwar: Bantuan yang diberikan berkaitan dengan urusan bertetangga.
7. Diyafah: Kegiatan memberikan jamuan atas tamu yang datang.

Kedua : Instrumen shodaqoh nafilah (sunah dan khusus dikenakan bagi orang muslim) adalah:
1. Infaq: Sedekah yang dapat diberikan kepada pihak lain jika kondisi keuangan rumah tangga muslim sudah berada di atas nisab.
2. Aqiqah: Memotong seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki yang baru lahir.
3. Wakaf: Memberi bantuan atas kepemilikannya untuk kesejahteraan masyarakat umum, asset yang diwakafkan bisa dalam bentuk asset materi kebendaan ataupun asset keuangan.

Ketiga: Instrumen term had/ hudud (hukuman)
1. Kafarat: Tembusan terhadap dosa yang dilakukan oleh seorang muslim, misal melakukan hubungan suami istri pada siang hari pada bulan Ramadhan.
2. Dam/diyat: tebusan atas tidak dilakukannya suatu syarat dalam pelaksanaan ibadah, seperti tidak melaksanakan puasa tiga hari pada saat melaksanakan ibadah haji, dendanya setara dengan seekor kambing.
3. Nudzur: perbuatan untuk menafkahkan atas pengorbanan sebagian harta yang dimilikinya untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT, atas keberhasilan pencapaian sesuatu yang menjadikan keinginannya.

Berbeda dengan ajaran ekonomi mana pun, ajaran Islam dalam mendistribusikan pendapatan rumah tangga mengenal skala prioritas yang ketat. Bahkan berkaitan dengan kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan sejumlah persyaratan (karakteristik khusus) pada aset wajib zakat. Dari kepemilikan aset yang dimiliki, pertama yang harus didistribusikan (dikeluarkan) dari jumlah seluruh asset adalah kebutuhan keluarga, dan dahulukan membayar hutang.

*) Oleh: Williya Meta (Divisi Produksi Buletin Ekonomi Islam KSEI IAIN IB PADANG)

Realis Kegiatan DEI kelima KSEI Iqtishad Institute

Asslamu’alaikum warahmatullah hiwabarakatuh…
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh semangat yang luar biasa dari kawan-kawan panitia serta didukung oleh berbagai pihak, akhirnya Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) Iqtishad Institute IAIN Imam Bonjol Padang berhasil melaksanakan kegiatan Diklat Ekonomi Islam (DEI) kelima pada tanggal 23-25 Desember 2011. Kegitan ini diikuti oleh empat puluh tiga peserta yang terdiri dari tiga jurusan, yaitu jurusan Ekonomi Islam 36 orang, jurusan Muamalah 6 orang, dan jurusan DIII Perbankan Syari’ah 1 Orang. Adapun tiga jurusan tersebut berada di Fakultas syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang.

Pembukaan acara Diklat Ekonomi Islam (DEI) yang kelima ini dimulai pukul 14.00 WIB dan dibuka secara resmi pada pukul 15.00 WIB oleh dekan Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang, yang diwakili oleh pembantu Dekan bagian Kemahasiswaan Bapak Drs. Ali Umar Ganti, M.Ag. Acara ini juga dihadiri oleh Komsat FoSSEI Sumatera Barat, saudara Kuliman harahap yang juga memberikan sambutan dalam pembukaan Kegiatan DEI kelima.

Selanjutnya Acara dilanjutkan dengan penyampaian materi pertama dengan tema “Isu-isu Ekonomi Kotemporer” yang disampaikan oleh Bapak Huriyatul Akmal, SHI., M.Si. Materi ini sekaligus adalah materi terakhir di hari pertama pelaksanaan DEI kelima KSEI Iqtishad Institute IAIN Imam Bonjol Padang.

Kemudian pada hari kedua pelaksanaan DEI kelima diawali dengan penyampaian materi tentang “Lembaga Keuangan Mikro Syariah” yang disampaikan oleh pimpinan BMT At-Taqwa cabang Pasar raya Padang, Bapak Ismail Putra, SEI pada pukul 08.00 s/d 10.00 WIB. Berselang beberapa menit acara dilanjutkan dengan penyampaian materi tentang “Perbankan syariah, teori dan praktek dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia” yang disampaikan oleh Pimpinan bank Nagari Syariah cabang Kota Solok, Bapak Rifka Abadi, SE.,MM. Materi yang disampaikan oleh Bapak Rifka Abadi ini selanjutnya ditindaklajuti oleh para instruktur dengan membentuk kelas diskusi antar peserta Diklat dengan mengetengahkan isu-isu terhangat menyangkut persoalan lembaga keuangan syariah saat ini. Diskusi berlangsung alot selama lebih kurang satu setengah jam menjelang masuk materi selanjutnya.

Setelah istirahat sholat dan makan siang bersama, acara kemudian dilanjutkan lagi dengan materi tentang “Kiat-kiat menulis karya tulis ilmiah” yang disampaikan oleh Bapak Aidil Novia, MA, beliau adalah dosen fakultas Syariah dan sekaligus adalah pembimbing KSEI Iqtishad Institute IAIN Imam Bonjol Padang. Setelah penyampaian materi oleh Bapak Aidil Novia, MA, kemudian acara dilanjutkan dengan materi tentang “Zakat Solusi Kemiskinan” yang disampaikan oleh Direktur BAZDA Kota Padang, Bapak H. Maigus Nasir, S.Pd. materi yang disampaikan oleh Bapak H. Maigus Nasir, SPd ini sekaligus sebagai materi penutup DEI kelima pada hari kedua.

Pada hari ketiga pelaksanaan DEI kelima KSEI Iqtishad Institute, materi-materi yang disuguhkan pada peserta lebih diarahkan kepada pembentukan kepribadian dan karakter para peserta serta pengenalan secara mendalam tentang KSEI dan FoSSEI. Sama seperti hari kedua, acara dimulai tetap pukul 08.00 WIB dengan materi pertama “SDM Ekonomi Islam Menghadapi Globalisasi” yang disampaikan oleh Bapak Testru Hendra, M.Ag, dosen fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang. Selanjutnya dilanjutkan dengan materi “Forum Lidearship KSEI” yang disampaikan oleh Mulyadi, A.Md.

Setelah Istirahat shalat dan makan siang kemudian dilanjutkan dengan penyampaian materi “Komunikasi Efektif” yang disampaikan oleh Bapak Welhendra, SE.,MM,Ak, beliau adalah dosen Fakultas Syariah. Selanjutnya dilanjukan dengan “Pengenalan FoSSEI” oleh komsat sumatera Barat, saudara Kuliman Harahap dan disambung dengan “Pengenalan KSEI berikut rancangan kegiatan enam bulan ke depan” kepada seluruh peserta yang disampaikan langsung oleh Presiden KSEI Iqtishad Institute IAIN Imam Bonjol Padang, saudara Yusuf Faisal.

Setelah semua materi disampaikan dan disambut dengan sangat antusias oleh seluruh , kemudian acara dilanjutkan dengan pengumuman peserta yang lulus kegiatan Diklat Ekonomi Islam (DEI) kelima dan resmi menjadi anggota KSEI Iqtishad Institute IAIN Imam Bonjol Padang. Dengan demikian resmilah KSEI Iqtishad Institute IAIN Imam Bonjol Padang memiliki anggota baru sebanyak 43 orang. Kemudian acara ditutup secara resmi oleh Komsat FoSSEI Sumatera Barat, Akhina Kuliman Harahap tepat pada pukul 17.40 WIB. Setelah penutupan dilanjutkan dengan sesi foto bersama peserta dan panitia serta pengurus harian KSEI.

Acara yang dilangsungkan selama tiga hari yang bertempat di gedung empat fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang berjalan cukup lancar. Acara ini dipersiapakan oleh lebih kurang 20 (dua puluh) orang panitia dibawah komando Saudara Diki Afriyeni selaku ketua panitia serta dibantu oleh 4 (empat) orang Steering Comitte (SC).

Demikianlah realis kegiatan Diklat Ekonomi Islam (DEI) kelima KSEI Iqtishad Institute IAIN Imam Bonjol Padang ini kami susun. Untuk dapat kita pergunakan sebagaimana mestinya. Terakhir, kami selaku panitia mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan karena kami adalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa. Fastabiqul Khairat, Salam Ekonom rabbani…

*) created by: MOT DEI V KSEI Iqtishad Institute IAIN Imam Bonjol Padang